Pendahuluan
Hari
ini persepakbolaan nasional sudah mulai menapak maju, dimana setiap
klub sepakbola yang ada dibawah naungan PSSI (Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia) dibina untuk lebih profesional. Bentuk
profesionalitas itu oleh PSSI dituangkan dalam format baru Liga
Indonesia, dimana sejak tahun 1994 kompetisi yang sebelumnya terbagi dua
disatukan dalam konsep Liga Indonesa dengan kasta tertinggi terletak
pada Divisi Utama. Setelah berganti-ganti konsep dan format kompetisi,
akhirnya pada tahun 2008 Divisi Utama Liga Indonesia berubah menjadi Indonesian Super League.
Proses pembinaan kompetisi beserta klub-klub yang ada didalamnya
diharapkan mampu membuat iklim sepakbola di Indonesia menjadi lebih
modern dan mampu menelurkan bibit-bibit baru pemain asli Indonesia yang
lebih berkualitas.
Kemajuan
persepakbolaan nasional tentu harus diikuti oleh komunitas suporter
yang menjadi basis pendukung sebuah klub sepakbola. Karena adalah sebuah
omong kosong apabila sebuah klub sepakbola itu mampu bertahan tanpa
dukungan suporter yang ada dibelakangnya. Tetapi sayangnya sudah menjadi
rahasia umum bahwasanya persepakbolaan Indonesia dikenal akan kerusuhan
dan permainan yang menjurus kasar. Kerusuhan demi kerusuhan, entah itu
akibat ketidakdewasaan suporter atau provokasi ofisial pertandingan
kepada suporter menjadi cerita lama dalam dunia persepakbolaan
Indonesia. Konflik Jakarta-Bandung, Semarang-Jepara, Jogja-Solo, dan
Malang-Surabaya menjadi cerita pasti mengenai aroma panas dalam konflik
suporter di Indonesia.
Belum
dewasanya suporter di Indonesia tentu menjadi penghambat bagi
pengembangan profesionalitas klub-klub di Indonesia. Aksi anarkis yang
dilakukan oleh oknum suporter menjadi salah satu faktor lambatnya
pengembangan profesionalitas klub Indonesia. Belajar dari kasus rasisme
Aremania beberapa saat yang lalu tentu menjadi sebuah pelajaran berharga
bagi seluruh elemen suporter yang ada. Kerugian sebesar hampir 1 miliar
rupiah bagi Arema tentu menjadi sebuah permasalahan tersendiri. Arema
yang merupakan klub profesional tanpa dukungan dana APBD tentu kesulitan
membayar gaji pemain dan lainnya. Padahal skala permasalahan baru
sekitar denda dan hukuman, belum pada level anarkisme tingkat tinggi
seperti perusakan stadion dan beberapa fasilitas, kerusuhan
antar-suporter, hingga aksi-aksi kejahatan yang melibatkan komunitas
suporter.
Salah
satu pertarungan suporter yang paling sering disorot oleh media massa
adalah rivalitas Aremania dan Bonek. Dua elemen suporter dari Arema
Indonesia dan Persebaya Surabaya ini memiliki tensi rivalitas yang
sangat tinggi, dimana perseteruan antar kedua elemen suporter ini tak
jarang berakhir dengan bentrokan, kerusuhan, kerusakan material, hingga
jatuhnya korban jiwa. Ekspresi saling benci keduanya juga tertumpah
ketika mendukung kesebelasan masing-masing, walaupun yang dihadapi
adalah tim sepakbola selain Arema Indonesia atau Persebaya Surabaya.
Konflik
Aremania melawan Bonek sudah menjadi cerita lama dalam diskusi
antar-suporter di Indonesia. Pertarungan yang sudah mendarah-daging
dalam kedua elemen suporter tersebut menjadi bumbu pedas dalam forum
antar-suporter. Walaupun belum ada yang pernah memfilmkannya layaknya
film Romeo-Juliet, tetapi aroma panas selalu terasa dalam kehidupan
sehari-hari warga Malang dan Surabaya. Tidak jarang ditemui di rumah
seorang Aremania segala atribut Bonek menjadi kain lap, sementara di
Surabaya segala atribut Aremania menjadi keset.
Aroma
panas kedua elemen ini tentu menarik untuk dikaji dan diteliti lebih
lanjut, karena sifat persaingannya yang begitu kental dan sudah
mendarah-daging. Belum lagi pembentukan iklim sepakbola Indonesia ke
arah modern tentu harus mewaspadai satu hal yang kini masih menjadi
kontroversi: industri sepakbola. Modernisasi sepakbola secara tidak
langsung membawa dunia sepakbola ke arah industri, dimana pada akhirnya
kapital juga ikut bermain dalam menentukan suasana dan atmosfir sebuah
pertandingan. Bukan tidak mungkin beberapa peristiwa yang berkaitan
dengan sepakbola Indonesia hari ini berkaitan erat dengan suasana pasar
ekonomi.
Selain
dari perspektif industri sepakbola, tentu konflik-konflik yang timbul
juga tidak luput dari permasalah sosial dan budaya dalam sebuah
masyarakat. Masalah hegemoni dan pengakuan akan ‘the one and the best’
juga menjadi salah satu permasalah konflik suporter Indonesia. Persoalan
chauvinisme dan fanatisme dalam sebuah masyarkat juga tidak dapat
dihilangkan sebagai faktor-faktor pemicu konflik. Belum lagi soal dendam
yang berasal dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Begitu banyak
permasalahan yang timbul dalam masyarakat sehingga terbawa dalam kancah
sepakbola membuat stadion masih belum menjadi tempat yang nyaman dalam
menikmati pertandingan sepakbola.
Dengan
mempelajari proses historis perseteruan kedua kelompok suporter ini
diharapkan adanya pembelajaran serta solusi agar konflik-konflik yang
terbangun menjadi sportif dan tidak anarkis. Pengkajian akan sebuah
konflik dengan memandang dari perspektif sosiologi –dimana masyarakat
dan kondisi kultural akan menjadi objek yang dikaji– diharapkan akan
timbul sebuah mediasi entah itu berupa negoisasi atau yang lainnya.
Dengan begitu posisi suporter sebagai sebuah pendukung klub akan terjadi
hubungan timbal balik dengan klub yang didukung. Selain itu diharapkan
pula perdamaian antar-suporter sepakbola yang ada di Indonesia dapat
terjadi.
Sejarah Aremania dan Rivalitas dengan Bonek
Tahun 1988
lahirlah Yayasan Arema Fans Club (AFC) yang didirikan oleh Ir. Lucky
Acub Zaenal. Yayasan ini hadir sebagai basis kelompok suporter dari
Yayasan PS Arema yang didirikan setahun sebelumnya. Tahun pertama AFC
berdiri dipimpin oleh Ir. Lucky Acub Zaenal dengan 13 korwil
(koordinator wilayah) yang ada dibawahnya. Keberadaan AFC yang begitu
formal dan eksklusif membuat kalangan suporter yang berasal dari kelas
bawah tidak mampu menjangkau organisasi tersebut. AFC sendiri pada
akhirnya belum mampu menciptakan kerukunan antar-suporter di Malang,
sehingga harus dibubarkan pada tahun 1994.
Kondisi
chaos dalam kota, dimana sering terjadi perselisihan antar-geng yang
berlanjut ke dalam stadion membuat kota Malang menjadi sepi di kala
Arema bertanding. Banyak toko-toko dan warung-warung tutup, bahkan
hingga mengunci pintu dan jendela. Beberapa narasumber bahkan
menceritakan bahwa ketika itu seorang suporter membawa batu, pentungan,
dan golok adalah hal biasa . AFC yang belum mampu menyatukan
elemen-elemen suporter yang ada di Malang akhirnya membubarkan diri.
Menjelang bubarnya AFC, beberapa suporter sepakbola Malang berkumpul dan
mendiskusikan mengenai Aremania. Beberapa nama seperti Handoko, Yuli
Sumpil, Ovan Tobing, Leo Kailola, dan Lucky Acub Zaenal yang merupakan
pentolan dari beberapa kelompok suporter PS Arema di Malang berkumpul
dan mengambil keputusan bahwa Aremania didirikan dalam sebuah organisasi
non-formal (tanpa bentuk) tetapi terus menjaga persatuan dan
sportivitas. Sehingga sejak saat itu tidak ada ketua resmi dari
Aremania.
Ketiadaan
ketua bukan berarti menimbul perpecahan dalam Aremania. Kultur
masyarakat Malang yang egaliter membangun kebersamaan dalam ketiadaan
struktur organisasi tersebut. Prinsip “sama rata, sama rasa, satu jiwa”
yang dimiliki oleh warga Malang menjadikan Aremania menjadi kelompok
suporter yang memiliki kekompakan dan persatuan yang kuat. Rasa egaliter
pula yang membuat Aremania kompak dan mudah dikendalikan oleh Yuli dan
Kepet, dirigen Aremania saat ini.
Titik
balik Aremania terjadi pada tahun 1993, pasca PS Arema menjuarai
kompetisi Galatama PSSI. PS Arema yang pada tahun-tahun sebelumnya belum
memiliki begitu banyak pendukung, mendapatkan perpindahan pendukung
begitu banyak dari Ngalamania. Kedewasaan arek Malang akan dampak
negatif dari anarkisme membawa dampak positif bagi perjalanan Aremania
selanjutnya. Aremania lalu mempelopori untuk selalu hadir mengawal
pertandingan Arema di kandang lawan. Dimulai dari Cimahi pada tanggal 31
Mei 1995, Aremania selalu mengikuti kemanapun Arema pergi dan mendukung
sembari menularkan virus suporter damai kepada elemen-elemen suporter
lawan.
Bulan
Mei 1996 Aremania berani untuk melakukan lawatan ke stadion ‘musuh
abadi’ untuk mendukung Arema dan menularkan virus perdamaian ke Bonek
yang menjadi elemen suporter Persebaya. Aremania datang dengan
pengawalan dari DANDIM Kota Malang pada pertandingan yang disaksikan
oleh para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur, dimana mereka
menunjukkan eksistensi perdamaian yang dibawanya. Stadion Tambaksari
yang dikenal ‘biadab’ karena jarangnya suporter lawan yang berani
memasuki stadion tersebut akibat tekanan, intimidasi, kerusuhan, dan
provokasi Bonek menjadi saksi eksistensi Aremania .
Rivalitas Malang Surabaya
Berbicara
masalah persaingan dan rivalitas dua elemen suporter di Jawa Timur ini,
maka kita tidak dapat mengesampingkan sejarah dan kultur sosial
masyarakat masing-masing kota. Malang yang secara demografis adalah
sebuah kota yang ada di pinggiran gunung, dimana pembangunan-pembangunan
yang dilakukan sejak pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga zaman
Orde Baru membawa kemajuan yang sangat pesat bagi kota ini. Kemajuan
yang membuat masyarakatnya merasa mampu untuk menyaingi kota
metropolitin sekelas Surabaya. Surabaya yang selalu dianggap ‘number
one’ dalam berbagai kondisi membuat masyarakat Malang tidak terima dan
menganggap arek Suroboyo adalah saingan utama mereka. Dalam tataran
propinsi misalnya, dimana Malang merupakan kota kedua setelah Surabaya.
Hal ini memicu kecemburuan sosial yang sangat tinggi oleh arek Malang
terhadap arek Suroboyo .
Kondisi
‘tidak mau kalah’ ini membuat suhu konflik Malang-Surabaya begitu
panas. Begitu juga dengan sepakbola, dimana suporter asal Malang selalu
berusaha menyaingi suporter asal Surabaya. Arek Suroboyo sudah lama
memiliki sifat bondho nekat, dimana pernah mereka aplikasikan dalam
upaya melawan tentara sekutu dalam pertempuran 10 November 1945. Sifat
bondho nekat yang masih menjadi kultur masyarakat Surabaya modern juga
terbawa dalam sepakbola. Pada akhirnya, bondho nekat ini menjadikan
suporter Surabaya saat itu terkesan brutal dan anarkis, seperti halnya
Hooligans di daratan Eropa.
John
Psipolatis pernah menyinggung akan perbedaan ‘suporter brutal’ dan
‘hooligan’ dalam kajiannya tentang sepakbola Indonesia. Ia menyatakan
bahwa untuk di Indonesia lebih sesuai dengan sebutan ‘suporter brutal’,
karena mereka datang ke stadion untuk menikmati pertandingan dan
sesudahnya membuat onar. Sementara ‘hooligan’ belum pantas disandang
oleh suporter di Indonesia karena Hooligan datang dengan niat untuk
membuat kerusuhan tanpa menikmati pertandingan sepakbola.
Konflik
dalam hal sepakbola dimulai sejak tahun 1967, dimana terjadi kerusuhan
dalam pertandingan Liga Perserikatan antara Persebaya Surabaya melawan
Persema Malang di Surabaya. Kondisi ini dibalas oleh arek-arek Malang
dalam pertandingan Persema Malang melawan Persebaya Surabaya di Malang.
Akhirnya, konflik suporter yang merupakan pertarungan geng
Malang-Surabaya ini terus berlanjut pada tahun 70’an. Periode 80’an
menjadi puncak ketegangan antara Bonek dan Ngalamania, dimana tahun 1984
terjadi ‘Perang Badar’ antara Ngalamania dengan Bonek. Peperangan yang
terjadi antara Arek Malang dan Arek Suroboyo itu membuat Presiden
Soeharto kala itu menyikapinya dengan ucapan “kalau sepakbola membuat persatuan hancur, lebih baik tidak usah”.
Rivalitas Bonek – Aremania
Berdirinya
Armada 86 hingga berevolusi menjadi PS Arema pada tahun 1987 membuat
konflik semakin memanas. Dalam kompetisi Perserikatan, Persema dan
Persebaya sudah memanaskan suhu konflik antar-suporter di Jawa Timur.
Dengan hadirnya Arema yang mengikuti kompetisi Galatama, suhu itu kian
memanas dengan rivalitas Arema dan Niac Mitra Surabaya. Semifinal
Galatama tahun 1992 yang mempertandingkan PS Arema Malang melawan PS
Semen Padang di stadion Tambaksari Surabaya menghadirkan awalan baru
sejarah konflik Aremania-Bonek. Arek Malang (saat itu belum bernama
Aremania) membuat ulah di Stasiun Gubeng pasca kekalahan Arema Malang
dari Semen Padang. Kapolda Jatim saat itu akhirnya mengangkut mereka
dalam 6 gerbong kereta api untuk menghindari kerusuhan dengan Bonek.
Kejadian
di Stasiun Gubeng itu membuat panas Bonek yang ada di Surabaya.
Tindakan balasan mereka lakukan dengan mencegat dan menyerang rombongan
Aremania pada akhir tahun 1993 saat akan melawat ke Gresik. Peristiwa
ini dibalas oleh Aremania pada tahun 1996 dengan melakukan lawatan ke
Stadion Tambaksari dengan pengawalan ketat DANDIM. Keberanian Aremania
untuk hadir di Stadion Tambaksari kala pertandingan Persebaya melawan
Arema saat itu telah membuat Bonek tidak bisa berbuat apa-apa dan harus
menahan amarah mereka dengan cara menghina Aremania lewat kata-kata
saja. Hal ini karena pertandingan tersebut disaksikan oleh para petinggi
PSSI dan gubernur Jawa Timur saat itu, serta pengawalan ketat DANDIM
kota Malang terhadap Aremania. Bagi Aremania, hal ini sudah sangat
mempermalukan Bonek dengan datang langsung ke jantung pertahanan lawan
sembari menunjukkan kesantunan Aremania dalam mendukung tim kesayangan.
Semenjak itulah tidak ada kata damai dari Bonek kepada Aremania, dan
Aremania sendiri juga menyatakan siap untuk melayani Bonek dengan
kekerasan sekalipun.
Kejadian
ini dibalas oleh Bonek di Jakarta pada tahun 1998. Tanggal 2 Mei 1998
dimana Aremania akan hadir dalam pertandingan Persikab Bandung vs Arema
Malang, Aremania yang baru turun dari kereta di Stasiun Jakarta
Pasarsenen diserang oleh puluhan Bonek. Ketika itu rombongan Aremania
yang berjumlah puluhan orang menaiki bus AC yang sudah disiapkan oleh
Korwil Aremania Batavia. Di tengah jalan, belum jauh dari Stasiun
Pasarsenen tiba-tiba bus yang ditumpangi Aremania dihujani batuan oleh
Bonek. Untuk menghindari jatuhnya korban, rombongan Aremania langsung
turun dari bus untuk melawan Bonek yang menyerang mereka. Bahkan
Aremania sampai mengejar-ngejar Bonek yang ada di Stasiun Pasarsenen.
Tindakan Aremania ini mendapat applaus dari warga setempat, sehingga
Bonek harus mundur meninggalkan area Stasiun Pasarsenen.
Kondisi
rivalitas yang begitu panas antara Aremania dan Bonek membuat keduanya
menandatangi nota kesepakatan bahwa masing-masing kelompok suporter
tidak akan hadir ke kandang lawan dalam laga yang mempertemukan Arema
dan Persebaya. Nota kesepakatan yang ditandatangani oleh Kapolda Jatim
bersama kedua pemimpin kelompok suporter tersebut ditandatangani di
Kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur pada tahun 1999. Semenjak tahun
1999, maka kedua elemen suporter ini tidak pernah saling tandang dalam
pertandingan yang mempertemukan kedua klub kesayangan masing-masing.
Tetapi
nota kesepakatan itu tidak mampu meredam konflik keduanya. Tragedi
Sidoarjo yang terjadi pada bulan Mei 2001 menunjukkan masih adanya
permusuhan kedua elemen ini. Kala itu pertandingan antara tuan rumah
Gelora Putra Delta (GPD) Sidoarjo melawan Arema Malang di Stadion Delta
Sidoarjo dalam lanjutan Liga Indonesia VII. Karena dekatnya jarak
Surabaya-Sidoarjo membuat sejumlah Bonek hadir dalam pertandingan
tersebut. Menjelang pertandingan dimulai, batu-batu berterbangan dari
luar stadion menyerang tribun yang diduduki oleh Aremania. Kondisi ini
membuat Arema meminta kepada panpel untuk mengamankan wilayah luar
stadion. Karena lemparan batu belum berhenti membuat Aremania turun ke
lapangan, sementara di luar stadion justru terjadi gesekan antara Bonek
dengan aparat. Turunnya Aremania ke lapangan pertandingan membuat
pertandingan dibatalkan. Terdesaknya aparat keamanan yang kewalahan
menghadapi Bonek membuat Aremania membantu aparat dengan memberikan
lemparan balasan ke arah Bonek. Aremania pun harus dievakuasi keluar
stadion dengan truk-truk dari kepolisian.
Kejadian
rusuh yang berkaitan antara Aremania dengan Bonek masih berlanjut pada
tahun 2006. Kekalahan Persebaya Surabaya atas Arema Malang di stadion
Kanjuruhan dalam laga first leg Copa Indonesia membuat kecewa Bonek di
Surabaya. Seminggu kemudian, kegagalan Persebaya Surabaya mengalahkan
Arema Malang di stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya membuat
Bonek mengamuk. Laga yang berkesudahan 0-0 ini harus dihentikan pada
menit ke-83 karena Bonek kecewa dengan kekalahan Persebaya dari Arema
Malang. Kekecewaan ini mereka lampiaskan dengan merusak infrastruktur
stadion, memecahi kaca stadion, dan merusak beberapa mobil dan kendaraan
bermotor lain yang ada di luar stadion. ANTV yang menayangkan
pertandingan tersebut meliputnya secara vulgar, bahkan berkali-kali
menunjukkan gambar rekaman mengenai mobil ANTV yang dirusak oleh Bonek.
Aremania menyikapi hal ini dengan menyerahkannya secara total kepada
pihak berwajib dan PSSI.
Rivalitas
keduanya tidak hanya hadir lewat kerusuhan dan peperangan, tetapi juga
dengan nyanyian-nyanyian saat mendukung tim kesayangannya. Bonekmania,
di kala pertandingan Persebaya melawan tim manapun, pasti akan
menyanyikan lagu-lagu yang menghina Arema dan Aremania. Lagu-lagu yang
menyebutkan Arewaria, Arema Banci, Singo-ne dadi Kucing, dan beberapa
lagu lain kerap mereka nyanyikan di Stadion Gelora 10 November
Tambaksari Surabaya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aremania, dimana
lagu-lagu anti-Bonek juga mereka kumandangkan kala Arema menghadapi tim
lain di Stadion Kanjuruhan. Bahkan persitiwa terbaru adalah tersiarnya
kabar mengenai dikepruknya mobil ber-plat N ketika malam tahun baru di
Surabaya oleh pemuda berkaos hijau (oknum Bonek?).
Atmosfir Malang – Surabaya
Seperti
yang ditulis oleh Feek Colombijn dalam View from The Periphery:
Football in Indonesia, dimana ia menyebut bahwa dinamika suporter di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Kultur Jawa yang
mengutamakan keselarasan dalam harga diri, dimana penolakan yang amat
sangat terhadap hal yang bisa mempermalukan diri sendiri, menjadi faktor
utama konflik antar suporter di Indonesia. Kultur Jawa yang menghindar
dari konflik dan tidak mau dipermalukan menjadi semacam dari anti-thesis
dari sepakbola yang harus siap sedia untuk dipermalukan. Tetapi kultur
Jawa pula yang memicu reaksi apabila penghinaan itu terjadi di depan
umum dan sangat memalukan, maka ekspresi kemarahan dan anarkisme yang
muncul untuk menjaga wibawa dan harga diri.
Kondisi
ini yang memicu atmosfir panas Malang–Surabaya. Geng pemuda asal Malang
yang dibantai oleh Bonek di tahun 1967 memicu perasaan dendam dari Arek
Malang. Belum lagi persoalan rivalitas “number one”, dimana dalam level
propinsi posisi Malang masih dibawah Surabaya. Sifat tidak terima Arek
Malang menjadi nomor dua dibawah Arek Suroboyo ini membuat keduanya
susah berjabat tangan. Persaingan atas dasar pride ini berlanjut pasca
melorotnya prestasi Persema Malang, dimana Arema mengambil alih posisi
rivalitas Malang-Surabaya tersebut.
Pergulatan
harga diri ini terlihat jelas ketika Aji Santoso pindah dari Arema ke
Persebaya, akhirnya Aji Santoso pun dianggap pengkhianat oleh Aremania.
Ketika Aji Santoso ingin kembali ke Malang, ia pun harus melalui begitu
banyak tim sebelum akhirnya mengakhiri karirnya bersama Arema Malang.
Ahmad Junaedi pun menjadi korban rivalitas Aremania-Bonek. Ketika Ahmad
Junaedi sudah menjadi bintang sepakbola nasional dan dibeli Surabaya,
maka ketika Persebaya menawarkan Ahmad Junaedi untuk kembali ke Arema
pun ditolak oleh Aremania. Akhirnya Arema pun lebih memilih untuk
mengasah bakat Johan Prasetyo daripada memakai tenaga Ahmad Junaedi .
Dalam hal simbol pun tantangan kepada Bonek juga dikumandangkan. Dengan
pemilihan simbol singa menunjukkan bahwa di belantara Jawa Timur Arema
ingin menjadi nomor satu, diatas Ikan Sura dan Buaya.
Arema
menjadi identitas resistensi daerah terhadap pusat (Surabaya) , dimana
melalui dialek jawa timur dengan tatanan huruf yang dibalik pada osob
kiwalan khas Malang seolah menunjukkan bahwa Arema menjadi identitas
kultural masyarakat Malang. Selain itu Arema juga merupakan pemersatu
warga kota Malang yang sebelumnya terpecah pada beberapa
desa/wilayah/daerah. Arek Malang selalu berusaha membedakan dirinya
dengan arek Suroboyo. Ketika arek Suroboyo itu bondho nekad, maka arek
Malang itu bondho duwit. Ketika Bonek itu suka membuat kerusuhan, maka
Aremania ingin menyebarkan virus perdamaian. Konflik identitas juga
menjadi lahan rivalitas kedua kubu suporter besar Jawa Timur ini.
Kapitalisme Sepakbola
Secara
disadari atau tidak, fanatisme dan pertarungan kedua elemen suporter
ini menjadi makanan empuk bagi kapitalisme. Sepakbola boleh jadi hari
ini tidak hanya berbicara masalah sportivitas dan kesehatan, tetapi juga
merambah dalam dunia politik dan ekonomi. Industri sepakbola menjadi
salah satu bisnis yang menguntungkan bagi pengusaha-pengusaha kelas
kakap hari ini, tentu dengan syarat mereka bisa mengendalikan iklim
sepakbola itu sendiri.
Dalam
hal konflik suporter di Jawa Timur, boleh jadi media massa menjadi
provokator dalam berbagai peristiwa persepakbolaan di Jawa Timur.
Sebagai contoh Jawa Pos misalnya, dimana secara eksplisit menyatakan
keberpihakannya kepada Persebaya Surabaya. Dapat dimaklumi sebenarnya
apabila melihat kantor redaksi yang berada di Surabaya serta posisi
penting para pengurus Jawa Pos dalam kepengurusan Persebaya Surabaya.
Dalam beberapa tulisan yang ada, Jawa Pos selalu menampilkan porsi lebih
kepada Persebaya, bahkan tidak jarang dukungan kepada Bonek selalu
mereka tuliskan dalam berita-beritanya.
PT
Bentoel Prima Tbk yang pernah mengakuisisi Arema juga merasakan betul
dampak menguntungkan bisnis sepakbola yang mereka bangun. Walaupun
menghadapi hambatan begitu banyak dari pesaingnya , tetapi secara
materiil PT Bentoel Prima Tbk mengalami keuntungan yang begitu besar
dari sekedar pasang tulisan bentoel-arema di kaos para pemain Arema.
Bisnis
sepakbola inilah yang sedang menguasai persepakbolaan modern hari ini.
Di belahan dunia manapun, modernisasi sepakbola diikuti dengan
berkembang pesatnya industri sepakbola. Dalam buku How Soccer Explains
The World: An Unlikely Theory of Globalization, Franklin Foer menuliskan
bahwa virus globalisasi telah merasuk kian dalam ke dunia sepakbola,
dan faktor pride (kebanggaan/fanatisme) menjadi faktor ekonomi yang
sangat menguntungkan bagi para kapitalis-kapitalis besar.
Kesimpulan
Modernisasi
dalam sepakbola secara tidak langsung diikuti oleh berkembangnya
kapitalisme dalam ranah sepakbola. Seolah-olah menjadi kapitalis adalah
syarat mutlak untuk mengembangkan sebuah persepakbolaan dalam negeri.
Melihat realitas di lapangan, bukan tidak mungkin hal diatas benar
adanya. Karena ketika mengembangkan sepakbola tanpa sokongan dana yang
kuat tentu akan membuat sebuah badan, klub, atau kompetisi menjadi
rontok. Hanya saja kekhawatiran muncul ketika suporter sepakbola
dijadikan obyek untuk mengkapitalisasi sepakbola tadi, dimana pada
akhirnya suporter sepakbola juga yang dipermasalahkan.
Terkadang,
berdasarkan perbincangan dengan kawan-kawan pemerhati sepakbola
nasional, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di lapangan selalu diawali
orang orang yang tidak jelas siapa pelakunya. Sebagai contoh ketika
terjadi kerusuhan di Madiun, baik Aremania dan Laskar Sakera (pendukung
Persekabpas Pasuruan) tidak tahu menahu siapa yang memulai melempari
batu-batu ke arah penonton. Tetapi karena yang hadir di stadion saat itu
adalah Aremania dan Laskar Sakera, tentu pada akhirnya bentrok fisik
tidak dapat dihindari. Efek pasca kejadian hari itu adalah banyaknya
toko-toko yang tutup di Madiun, image PT Bentoel Arema Tbk juga
tercoreng, dan entah mengapa beberapa hari sesudahnya media massa begitu
laku di pasaran.
Begitu
pula yang terjadi saat kerusuhan Bonek di Stadion Gelora 10 November di
Surabaya beberapa tahun lalu. Dimana mau tidak mau Aremania harus
mengakui bahwa kemenangan PS Arema atas Persebaya Surabaya hari itu
cukup kontroversial, ada kesan wasit memihak Arema. Kemenangan 2-1 untuk
Arema pun harus dibayar mahal dengan perusakan stadion dan beberapa
fasilitas umum beserta kendaraan pribadi oleh Bonek yang menonton hari
itu.
Begitu
banyaknya tangan-tangan tak terlihat yang bermain-main diatas konflik
suporter tentunya harus diwaspadai oleh Aremania maupun Bonek. Jangan
sampai begitu banyak orang mati sia-sia saat pertempuran kedua suporter
tersebut ternyata hanya menjadi ‘mainan globalisasi’ oleh segelintir
orang yang ingin mengambil keuntungan didalamnya. Untuk itulah perlunya
melihat kembali sejarah konflik antar kedua elemen suporter ini, supaya
kejadian-kejadian negatif dapat diminimalisir dan era baru yang lebih
damai dapat tercipta.
Kultur
masyarakat Jawa yang melingkupi konflik Aremania-Bonek seharusnya bukan
menjadi kambing hitam atas berbagai peristiwa yang terjadi. Sudah
seharusnya dua elemen suporter yang sudah dikenal akan militansinya ini
berdamai dan menciptakan suasana kondusif dalam persepakbolaan nasional.
Sudah saatnya baik Aremania maupun Bonek untuk mendewasakan diri dengan
melihat dari kacamata modernisasi dan sportivitas dalam mendukung tim
kesayangannya. Tidak ada salahnya Bonek turut bergabung dalam usaha
mewujudkan suporter Indonesia damai, sehingga mampu membuat suasana
stadion begitu damai dan orang tidak perlu takut untuk menyaksikan
secara langsung pertandingan sepakbola di tanah air.
"Cita-cita
saya, pagar besi pembatas tribun dengan lapangan nanti tidak perlu ada
lagi. Jadi kita menonton sepakbola dengan enak, tidak ada perkelahian,
tidak ada suporter yang mengganggu pemain. Saya juga ingin semua
golongan bisa bersatu di sini. Kaya atau miskin, laki-laki atau
perempuan, Cina atau bukan Cina, pejabat atau orang biasa, Islam atau
Kristen, di sini semuanya bisa sama."
Yuli Sumpil – Dirigen Aremania